Saturday, July 13, 2019

Penggunaan Bacillus Thuringiensis sebagai Biopestisida


BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Penggunaan Bacillus Thuringiensis sebagai Biopestisida
       Biopestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan herbisida biologi telah banyak diteliti, tetapi belum banyak dipakai.

3.2. Jenis-jenis Biopestisida
Jenis-jenis biopestisida, antara lain :
1. Insektisida biologi (Bioinsektisida)
       Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya (Sastroutomo, 1992).
       Pada saat ini hanya beberapa insektisida biologi yang sudah digunakan dan diperdagangkan secara luas. Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus thuringiensis (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis var. kurstaki telah diproduksi sebagai insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai nama seperti Dipel, Sok-Bt, Thuricide, Certan dan Bactospeine. Bacillus thuringiensis var. Israelensis diperdagangkan dengan nama Bactimos, BMC, Teknar dan Vektobak. Jenis insektisida ini efektif untuk membasmi larva nyamuk dan lalat (Sastroutomo, 1992).
       Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema locustae, yang telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jangkerik. Nama dagangnya ialah NOLOC, Hopper Stopper. Cacing yang pertama kali didaftarkan sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae, yang diperdagangkan dengan nama Spear, Saf-T-Shield. Insektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap (Sastroutomo, 1992).

2. Herbisida biologi (Bioherbisida)
       Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang pertama kali digunakan ialah DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora yang digunakan untuk mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk. Bioherbisida yang kedua dengan menggunakan Colletotrichum gloeosporioides yang diperdagangkan dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi dan kedelai di Amerika (Sastroutomo, 1992).

3. Fungisida biologi (Biofungisida)
       Biofungisida menyediakan alternatif yang dipakai untuk mengendalikan penyakit jamur. Beberapa biofungisida yang telah digunakan adalah spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai. Merek dagangnya ialah Saco P dan Biotri P (Novizan, 2002).
       Biofungisida lainnya menurut Novizan (2002), yaitu Gliocladium spesies G. roseum dan G. virens. Produk komersialnya sudah dapat dijumpai di Indonesia dengan merek dagang Ganodium P yang direkomendasikan untuk mengendalikan busuk akar pada cabai akibat serangan jamur Sclerotium Rolfsii.
       Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat. Bakteri ini telah diproduksi secara masal dengan merek dagang Emva dan Harmoni BS (Novizan, 2002).   
 
3.3. Keuntungan Biopestisida:
  • Menjaga kesehatan tanah dan mempertahankan hidupnya dengan meningkatkan bahan organik tanah.
  • Spesies tertentu yang digunakan aman baik sebagai musuh alami dan organisme non target.
  • Biopestisida tidak terlalu beracun seperti pestisida kimia sehingga aman untuk lingkungan.
  • Pestisida mikroba mengandalkan senyawa biokimia potensial yang mudah membusuk sehingga dapat mengurangi pencemaran.  
3.4. Bio-insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis
 Gambar 3. Bio-insektisida 
         Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat daun, kumbang daun, dan kutu daun pada tanaman holtikultura. Bakteri B. thuringiensis cukup efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan lepidoptera, coleoptera, dan hemiptera. 
        Senyawa toksin penting dalam upaya pengembangan produk bioinsektisida secara komersial. Karaterisasi kimia β-eksotoksin pertama kali diaporkan oleh Mc. Connel dan Richard (1959). Peneliti tersebut mengatakan bahwa β-eksotoksin terdiri dari komposisi senyawa asam nukleat, seperti adenine, ribose, glucose, dan asam alarik dengan ikatan kelompok fosfat. Selain itu, β-eksotoksin diketahui bersifat termostabil, artinya bahwa senyawa tersebut tahan atau tidak rusak jika terkena suhu tinggi, maka digolongkan sebagai thermostabel eksotoksin, larut didalam air dan sangat beracun terhadap beberapa jenis ulat. Sementara α-eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika terkena panas. Senyawa tersebut diketahui beracun bagi mencit dan ulat (Plutella xylostella).
        Reaksi toksisitas terhadap serangga dari δ-endotoksin dan strain B. thuringiensis terhadap serangga tampaknya juga sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heimpel dan rekannya (1959 dan 1967) terhadap serangga Lepidoptera menunjukkan adanya respon yang berbeda terhadap δ-endotoksin.
        Fenomena lain mekanisme kerja dari toksin bakteri B. thuringiensis yaitu, terjadinya mekanis intraseluler dari β-eksotoksin, sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun, senyawa ini akan menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan cara menghentikan proses katalisa polimerasi oleh DNA-dependen RNA-polymersae.
Ø  Mekanisme Patogenitas
 Gambar 4. Struktur Patogenitas
       Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lysis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati.
Ø  Cara Isolasi
       Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora B. thuringiensis menjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80°C selama beberapa menit. Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi B. thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat B. thuringiensis.
Ø  Penapisan Isolat yang Toksik
       Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan daya racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal ini. Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.
       Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan primer-primer yang dapat menggandakan bagian-bagian tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal (gen cry). Hasil PCR ini dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih dulu melakukan bioasai terhadap serangga target. Dengan demikian penapisan banyak isolat untuk kandungan gen-gen cry tertentu dapat dilakukan dengan cepat.
       Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu dilakukan bioasai dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target. Dari bioasai ini dapat dibandingkan daya racun antar isolat. Dengan pendekatan seperti ini BB-Biogen telah mengidentifikasi beberapa isolat B. thuringiensis lokal yang mengandung gen cry1 dan beracun terhadap beberapa serangga.
Ø  Cara Perbanyakan
       Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana. Karena yang kita perlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang mengandung tryptose telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis. Dalam 2–5 hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.
Ø  Potensi sebagai Bioinsektisida
       Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau protein kristal Bt dalam bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel Bt yang telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein kristal yang diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat, perata, dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.

3.5. Teknologi Produksi Biopestisida Skala Industri 
Gambar 5. Baccilus thuringiensis di perindustrian
       Pengembangan industri umumnya dilakukan dengan menggunakan tahapan skala laboratorium, skala pilot plant, dan skala industri. Skala laboratorium merupakan tahap penyeleksian mikroba yang digunakan, skala pilot plant merupakan tahap penerapan kondisi operasi optimum dan skala industri merupakan tahap yang prosesnya akan dilaksanakan dengan pertimbangan perhitungan ekonomi.
       Penelitian skala laboratorium telah mendapatkan nisbah karbon dan nitrogen dengan media onggok tapioca dan urea optimum sebesar 7:1, pH dan suhu sebesar 6,90 + 0,10 dan 26,35 + 1,500 C serta laju agitasi dan laju optimum, yaitu 200 rpm dan wm.
       Translasi skala laboratorium ke skala pilot plant atau industri memerlukan patokan perhitungan yang tepat. Ada beberapa metode yang digunakan dalam penggandaan skala. Mengingat fermentasi bioinsektisida Bacillus thuringiensis bersifat aerobik, maka digunakan patokan penggandaan skala yang berhubungan dan mengacu pada perpindahan oksigen, yaitu tekanan parsial Oz atau Po.
       Ketersediaan oksigen sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan sintesis bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis. Parameter penting yang berpengaruh pada ketersediaan oksigen di dalam media adalah koefisien perpindahan oksigen volumetric dan kebutuhan tenaga per unit volume. Oleh karena itu, dalam tahap penggandaan skala dicoba dua patokan tersebut. Perhitungan penggandaan skala memerlukan data ciri reologi cairan fermentasi dan spesifikasi fermentor yang digunakan, yakni tipe pengaduk, jumlah pengaduk, diameter pengaduk, jumlah baji, tinggi fermentor, diameter tangki, dan volume tangki fermentor.
       Agar penyimpangan yang terjadi selama proses penggandaan skala dapat diminimumkan sehingga tidak menyebabkan kerugian, maka kajian penggandaan skala produksi bioinsektisida dilakukan dengan mempertahankan keasaman geometric fermentor, menggunakan komposisi media, suhu proses, pH awal, konsentrasi kelarutan oksigen, dan galur mikroorganisme yang sama.
Langkah yang dilakukan, yaitu :
1. Isolasi Mikroba
       Cara untuk mendapatkan biakan murni disebut isolasi. Isolasi merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam industri. Isolat yang diperoleh dan bersifat unggul akan digunakan untuk memproduksi senyawa yang bernilai ekonomi.
       Sumber mikroba diberi perlakuan yang dapat merangsang pertumbuhan mikroba khusus yang diinginkan dan sekaligus menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan atau mikroba ditumbuhkan dalam medium yang bersifat selektif. Untuk mendapatkan kelompok mikroba khusus digunakan media yang diberi tambahan nutrisi khusus yang sesuai dengan habitat alami, yang disebut dengan media diperkaya.
2. Seleksi Mikroba
       Dari sejumlah isolat yang didapat, perlu dilakukan seleksi untuk memilih isolat terbaik atau unggul dalam produksi. Sifat-sifat yang harus dimiliki isolat terpilih adalah
  1. Murni, bebas dari segala kontaminan
  2. Dapat tumbuh dengan subur, fase adaptasi singkat atau tidak ada
  3. Dapat menghasilkan produk yang diinginkan (aktivitas spesifik)
  4. Mampu menghasilkan produk yang diinginkan dengan konsentrasi tinggi dalam waktu singkat
  5. Mudah disimpan dan dipelihara dalam jangka waktu lama
3. Karakterisasi dan Identifikasi
Karakterisasi atau penentuan sifat fisiologis mikroba, merupakan dasar dalam identifikasi mikroba secara sistematik. Beberapa karakter yang perlu diketahui dari isolat, antara lain adalah:
  1. Morfologi dan struktur sel (spora, flagel)
  2. Sifat Gram
  3. Morfologi koloni pada media padat
  4. Sifat petumbuhan pada medium cair
  5. Kebutuhan oksigen
  6. Kebutuhan energi dan nutrient
  7. Suhu dan pH optimal untuk pertumbuhan
  8. Kurva pertumbuhan
Selanjutnya identifikasi isolat dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain berdasarkan:
  1. Reaksi enzimatik/tes biokimia, yaitu  fermentasi gula, TSIA, Indol, Metilred, Vouges Pros kauer, Citrat, Urease, katalase, oksidase dan sebagainya.
  2. Tes serologi, yakni reaksi antigen dengan antibodi
  3. Sifat genetik, yakni dengan menentukan komposisi basa, urutan basa nukleotida dan hibridisasi DNA
  4. Urutan asam amino, urutan asam amino yang menyusun protein adalah spesifik, karena merupakan refleksi dari urutan basa DNA, dan lain-lain.
4. Pemeliharaan Kultur
       Pemeliharaan kultur bertujuan untuk mencegah kontaminasi dan perubahan genetik serta untuk mempertahankan tingkat aktivitas dan viabilitas sel serta mutu genetik. Oleh karena itu, tahap ini merupakan tahap yang paling menentukan kelangsungan industri. Bila tidak dipertahankan, maka mutu dan jumlah produksi akhir juga tidak bisa dipertahankan. Mikroba mudah sekali mengalami mutasi secara spontan, sehingga mutu genetik kultur relatif sulit dipertahankan dan dapat menyebabkan penurunan kemampuan dalam menghasilkan metabolit.
5. Propagasi Kultur dan Pembuatan Starter
Propagasi kultur bertujuan untuk mendapatkan inokulum yang sehat dan aktif serta tersedia dalam jumlah mencukupi. Inokulum yang berupa kultur kerja tidak dapat langsung digunakan untuk fermentasi. Fermentasi dalam kapasitas besar memerlukan inokulum yang cukup banyak. Biasanya inokulum hasil propagasi tidak mencukupi sehingga perlu dibiakan kembali untuk mencapai jumlah yang diinginkan. Inokulum yang siap diinokulasikan ke fermentor disebut dengan starter (biakan aktif). Starter biasanya dibuat dalam fermentor kecil dengan kondisi medium terkendali menyerupai fermentor besar.
6. Fermentasi
 Gambar 6. Proses Fermentasi
         Fermentasi adalah suatu proses untuk menghasilkan produk dengan melibatkan aktivitas mikroba secara terkontrol, baik dalam kondisi aerob maupun anaerob. Fermentasi dilakukan dalam fermentor yang berisi medium dengan kandungan nutrien yang cukup dan kondisi medium yang optimal untuk pertumbuhan dan sintesis produk yang diinginkan, baik suhu, pH, aerasi maupun homogenitas. Selanjutnya fermentor dihubungkan dengan monitor untuk mengatur parameter-parameter yang terkait dengan proses fermentasi. Prosedur perpindahan fermentasi dari skala laboratorium ke skala industri disebut juga dengan scale-up atau peningkatan proses. Scale-up perlu dilakukan karena selama fermentasi terjadi perubahan lingkungan internal fermentor, yang dapat mempengaruhi aktivitas dan produktivitas mikroba. Pada fermentasi skala laboratorium digunakan fermentor gelas 1-5 liter, skala pilot plan 300 – 3000 liter dan pada tahap industri digunakan fermentor 10.000 – 400.000 liter.
7. Pengembangan Mutan
        Mikroba yang berperan dalam industri perlu ditingkatkan aktivitas metabolismenya, sebab isolat alami hanya mampu menghasilkan produk dalam jumlah sedikit. Pengembangan mutan dapat dilakukan dengan transformasi lisogeni, rekombinasi dan pembuatan mutan auxotrof.
       Sifat-sifat mutan yang diinginkan, yaitu waktu fermentasi lebih singkat, tidak memproduksi senyawa yang tidak diinginkan, dapat menggunakan substrat yang lebih murah, mampu menghasilkan produk dalam jumlah tinggi dan lain sebagainya.
       Selanjutnya mikroba dengan sifat-sifat yang menguntungkan tersebut digunakan dalam industri, untuk menghasilkan produk yang berkualitas dalam jumlah maksimal.

3.6. Cara Bacillus Thuringiensis Bekerja
        Larutan BT dan spora disemprotkan ke tanaman. Bacillus thuringiensis akan menghasilkan kristal protein saat sporulasi. Kristal protein yang bersifat insektisida ini sering disebut dengan delta-endotoksin. Kristal protein yang ada pada Bacillus thuringiensis ini sebenarnya merupakan proteksin yang jika larut kristal protein tidak dapat larut pada kondisi normal, sehingga aman bagi manusia, atau hewan tingkat tinggi lainnya. Namun dapat larut pada kondisi Ph sekitar 9,5. Kondisi ini ditemukan didalam usus serangga (dalam hal ini ulat). Hal ini lah yang menyebabkan Bt merupakan agen insektisida yang spesifik. 
        Bacillus thuringiensis bekerja secara spesifik, karena hanya akan berikatan dengan reseptor dari sel usus serangga (ulat) berikatan dengan reseptor dinding sel usus dan akan membuat lubang dan menyebabkan tidak seimbangnya ph. Sehingga usus lumpuh dan serangga berhenti makan. Ph usus dan darah menjadi tidak seimbang dan mengakibatkan spora berkecambah dan bakteri merusak inang.
1. Serangga memakan tanaman yang telah di semprotkan Bt, sehingga kristal dan spora masuk kedalam tubuhnya.
2. toksin akan berikatan dengan reseptor tertentu di usus.
3. toksin akan merusak dinding sel epitel dan merusak keseimbangan ph, sehingga mengakibatkan spora berkecambah dan bakteri merusak sel inang (serangga)
4. serangga mati

No comments:

Post a Comment

Irigasi dan Drainase | pola distribusi air di bumi

           POLA DISTRIBUSI AIR DI BUMI 1. Gambaran secara singkat latar belakang dan konsep irigasi          Irigasi merupakan salah satu fa...