BAB
III
PEMBAHASAN
3.1. Penggunaan Bacillus
Thuringiensis sebagai Biopestisida
Biopestisida
adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus
dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis
insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida
biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti
bakterisida, nematisida dan herbisida biologi telah banyak diteliti, tetapi
belum banyak dipakai.
3.2. Jenis-jenis
Biopestisida
Jenis-jenis
biopestisida, antara lain :
1.
Insektisida biologi (Bioinsektisida)
Berasal dari
mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan
penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan
lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida
harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang
menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya (Sastroutomo, 1992).
Pada saat ini
hanya beberapa insektisida biologi yang sudah digunakan dan diperdagangkan
secara luas. Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai
insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus thuringiensis
(Khetan, 2001). Bacillus
thuringiensis var. kurstaki telah diproduksi
sebagai insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai nama seperti
Dipel, Sok-Bt, Thuricide, Certan dan Bactospeine. Bacillus thuringiensis var.
Israelensis diperdagangkan dengan nama Bactimos,
BMC, Teknar dan Vektobak. Jenis insektisida ini efektif untuk membasmi larva
nyamuk dan lalat (Sastroutomo, 1992).
Jenis
insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema locustae,
yang telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jangkerik. Nama dagangnya
ialah NOLOC, Hopper Stopper. Cacing yang pertama kali didaftarkan sebagai
insektisida ialah Neoplectana
carpocapsae, yang diperdagangkan dengan nama Spear,
Saf-T-Shield. Insektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap
(Sastroutomo, 1992).
2.
Herbisida biologi (Bioherbisida)
Termasuk dalam
golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan penyakit
yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang pertama kali
digunakan ialah DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora
yang digunakan untuk mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada
tanaman jeruk. Bioherbisida yang kedua dengan menggunakan Colletotrichum gloeosporioides
yang diperdagangkan dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi dan
kedelai di Amerika (Sastroutomo, 1992).
3.
Fungisida biologi (Biofungisida)
Biofungisida
menyediakan alternatif yang dipakai untuk mengendalikan penyakit jamur.
Beberapa biofungisida yang telah digunakan adalah spora Trichoderma sp.
digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu
fusarium pada cabai. Merek dagangnya ialah Saco P dan Biotri P (Novizan, 2002).
Biofungisida
lainnya menurut Novizan (2002), yaitu Gliocladium spesies G.
roseum
dan G.
virens. Produk komersialnya sudah dapat
dijumpai di Indonesia dengan merek dagang Ganodium P yang direkomendasikan
untuk mengendalikan busuk akar pada cabai akibat serangan jamur Sclerotium Rolfsii.
Bacillus subtilis
yang merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamur Fusarium sp.
pada tanaman tomat. Bakteri ini telah diproduksi secara masal dengan merek
dagang Emva dan Harmoni BS (Novizan, 2002).
3.3. Keuntungan Biopestisida:
- Menjaga kesehatan tanah dan mempertahankan hidupnya dengan meningkatkan bahan organik tanah.
- Spesies tertentu yang digunakan aman baik sebagai musuh alami dan organisme non target.
- Biopestisida tidak terlalu beracun seperti pestisida kimia sehingga aman untuk lingkungan.
- Pestisida mikroba mengandalkan senyawa biokimia potensial yang mudah membusuk sehingga dapat mengurangi pencemaran.
3.4. Bio-insektisida berbahan aktif Bacillus
thuringiensis
Gambar 3. Bio-insektisida
Bakteri Bacillus
thuringiensis merupakan
bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat daun, kumbang daun, dan kutu daun
pada tanaman holtikultura. Bakteri B. thuringiensis cukup efektif untuk mengendalikan berbagai jenis
hama dari golongan lepidoptera, coleoptera, dan hemiptera.
Senyawa toksin
penting dalam upaya pengembangan produk bioinsektisida secara komersial.
Karaterisasi kimia β-eksotoksin pertama kali diaporkan oleh Mc. Connel dan
Richard (1959). Peneliti tersebut mengatakan bahwa β-eksotoksin terdiri dari
komposisi senyawa asam nukleat, seperti adenine, ribose, glucose, dan asam
alarik dengan ikatan kelompok fosfat. Selain itu, β-eksotoksin diketahui
bersifat termostabil, artinya bahwa senyawa tersebut tahan atau tidak rusak
jika terkena suhu tinggi, maka digolongkan sebagai thermostabel
eksotoksin, larut
didalam air dan sangat beracun terhadap beberapa jenis ulat. Sementara
α-eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika terkena panas. Senyawa
tersebut diketahui beracun bagi mencit dan ulat (Plutella
xylostella).
Reaksi toksisitas
terhadap serangga dari δ-endotoksin dan strain B.
thuringiensis terhadap
serangga tampaknya juga sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Heimpel dan rekannya (1959 dan 1967) terhadap serangga Lepidoptera menunjukkan
adanya respon yang berbeda terhadap δ-endotoksin.
Fenomena lain
mekanisme kerja dari toksin bakteri B. thuringiensis yaitu, terjadinya mekanis intraseluler dari
β-eksotoksin, sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun, senyawa ini
akan menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan cara menghentikan proses
katalisa polimerasi oleh DNA-dependen RNA-polymersae.
Ø
Mekanisme Patogenitas
Gambar 4. Struktur
Patogenitas
Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan
basa pada usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan
teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang teraktifkan akan
menempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus.
Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel
sehingga sel mengalami lysis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan
pencernaan dan mati.
Ø
Cara Isolasi
Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan,
kotoran hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi
yang cukup efektif adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat
disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok.
Media asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora B.
thuringiensis menjadi sel
vegetatif. Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80°C selama
beberapa menit. Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme
yang sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian
sebagian kecil dari suspensi yang telah dipanaskan diratakan pada media padat.
Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi B.
thuringiensis. Koloni yang
tumbuh pada media ini dicek keberadaan spora atau protein kristalnya untuk
menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat B.
thuringiensis.
Ø
Penapisan Isolat yang Toksik
Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu
dilakukan penapisan daya racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua
pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal ini. Pertama dengan pendekatan
molekular dan kedua dengan bioasai.
Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan primer-primer yang dapat menggandakan
bagian-bagian tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal (gen cry). Hasil PCR ini dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun
dari suatu isolat tanpa terlebih dulu melakukan bioasai terhadap serangga
target. Dengan demikian penapisan banyak isolat untuk kandungan gen-gen cry tertentu dapat dilakukan dengan cepat.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu
dilakukan bioasai dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat
tersebut kepada serangga target. Dari bioasai ini dapat dibandingkan daya racun
antar isolat. Dengan pendekatan seperti ini BB-Biogen telah mengidentifikasi
beberapa isolat B. thuringiensis lokal yang mengandung gen cry1 dan beracun terhadap beberapa serangga.
Ø
Cara Perbanyakan
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang
mudah dan sederhana. Karena yang kita perlukan sebagai bioinsektisida adalah
protein kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya
kristal tersebut. Media yang mengandung tryptose telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B.
thuringiensis. Dalam 2–5
hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan
pada suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih
besar dengan fermentor.
Ø
Potensi sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau
protein kristal Bt dalam bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil
fermentasi sel-sel Bt yang telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan
protein kristal yang diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa,
pengemulsi, perekat, perata, dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.
3.5. Teknologi Produksi Biopestisida
Skala Industri
Gambar 5. Baccilus thuringiensis di perindustrian
Pengembangan industri umumnya dilakukan dengan menggunakan tahapan skala
laboratorium, skala pilot plant, dan skala industri. Skala laboratorium merupakan
tahap penyeleksian mikroba yang digunakan, skala pilot
plant merupakan
tahap penerapan kondisi operasi optimum dan skala industri merupakan tahap yang
prosesnya akan dilaksanakan dengan pertimbangan perhitungan ekonomi.
Penelitian skala laboratorium telah mendapatkan nisbah karbon dan
nitrogen dengan media onggok tapioca dan urea optimum sebesar 7:1, pH dan suhu
sebesar 6,90 + 0,10 dan 26,35 + 1,500 C serta laju agitasi dan laju
optimum, yaitu 200 rpm dan wm.
Translasi skala laboratorium ke skala pilot
plant atau industri
memerlukan patokan perhitungan yang tepat. Ada beberapa metode yang digunakan
dalam penggandaan skala. Mengingat fermentasi bioinsektisida Bacillus
thuringiensis bersifat
aerobik, maka digunakan patokan penggandaan skala yang berhubungan dan mengacu
pada perpindahan oksigen, yaitu tekanan parsial Oz atau Po.
Ketersediaan oksigen sangat berpengaruh
pada pertumbuhan dan sintesis bioinsektisida oleh Bacillus
thuringiensis. Parameter
penting yang berpengaruh pada ketersediaan oksigen di dalam media adalah
koefisien perpindahan oksigen volumetric dan kebutuhan tenaga per unit volume.
Oleh karena itu, dalam tahap penggandaan skala dicoba dua patokan tersebut.
Perhitungan penggandaan skala memerlukan data ciri reologi cairan fermentasi
dan spesifikasi fermentor yang digunakan, yakni tipe pengaduk, jumlah pengaduk,
diameter pengaduk, jumlah baji, tinggi fermentor, diameter tangki, dan volume
tangki fermentor.
Agar penyimpangan yang terjadi selama proses penggandaan skala dapat
diminimumkan sehingga tidak menyebabkan kerugian, maka kajian penggandaan skala
produksi bioinsektisida dilakukan dengan mempertahankan keasaman geometric
fermentor, menggunakan komposisi media, suhu proses, pH awal, konsentrasi
kelarutan oksigen, dan galur mikroorganisme yang sama.
Langkah yang
dilakukan, yaitu :
1. Isolasi Mikroba
Cara untuk mendapatkan biakan murni disebut isolasi. Isolasi merupakan
salah satu tahapan yang sangat penting dalam industri. Isolat yang diperoleh
dan bersifat unggul akan digunakan untuk memproduksi senyawa yang bernilai
ekonomi.
Sumber mikroba diberi perlakuan yang dapat merangsang pertumbuhan mikroba
khusus yang diinginkan dan sekaligus menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak
diinginkan atau mikroba ditumbuhkan dalam medium yang bersifat selektif. Untuk
mendapatkan kelompok mikroba khusus digunakan media yang diberi tambahan
nutrisi khusus yang sesuai dengan habitat alami, yang disebut dengan media
diperkaya.
2.
Seleksi Mikroba
Dari sejumlah isolat yang didapat, perlu dilakukan seleksi untuk memilih
isolat terbaik atau unggul dalam produksi. Sifat-sifat yang harus dimiliki
isolat terpilih adalah
- Murni, bebas dari segala kontaminan
- Dapat tumbuh dengan subur, fase adaptasi singkat atau tidak ada
- Dapat menghasilkan produk yang diinginkan (aktivitas spesifik)
- Mampu menghasilkan produk yang diinginkan dengan konsentrasi tinggi dalam waktu singkat
- Mudah disimpan dan dipelihara dalam jangka waktu lama
3. Karakterisasi dan Identifikasi
Karakterisasi
atau penentuan sifat fisiologis mikroba, merupakan dasar dalam identifikasi
mikroba secara sistematik. Beberapa karakter yang perlu diketahui dari isolat,
antara lain adalah:
- Morfologi dan struktur sel (spora, flagel)
- Sifat Gram
- Morfologi koloni pada media padat
- Sifat petumbuhan pada medium cair
- Kebutuhan oksigen
- Kebutuhan energi dan nutrient
- Suhu dan pH optimal untuk pertumbuhan
- Kurva pertumbuhan
Selanjutnya identifikasi isolat dapat dilakukan
dengan berbagai cara, antara lain berdasarkan:
- Reaksi enzimatik/tes biokimia, yaitu fermentasi gula, TSIA, Indol, Metilred, Vouges Pros kauer, Citrat, Urease, katalase, oksidase dan sebagainya.
- Tes serologi, yakni reaksi antigen dengan antibodi
- Sifat genetik, yakni dengan menentukan komposisi basa, urutan basa nukleotida dan hibridisasi DNA
- Urutan asam amino, urutan asam amino yang menyusun protein adalah spesifik, karena merupakan refleksi dari urutan basa DNA, dan lain-lain.
4.
Pemeliharaan Kultur
Pemeliharaan kultur bertujuan untuk mencegah kontaminasi dan perubahan
genetik serta untuk mempertahankan tingkat aktivitas dan viabilitas sel serta
mutu genetik. Oleh karena itu, tahap ini merupakan tahap yang paling menentukan
kelangsungan industri. Bila tidak dipertahankan, maka mutu dan jumlah produksi
akhir juga tidak bisa dipertahankan. Mikroba mudah sekali mengalami mutasi
secara spontan, sehingga mutu genetik kultur relatif sulit dipertahankan dan
dapat menyebabkan penurunan kemampuan dalam menghasilkan metabolit.
5. Propagasi Kultur dan Pembuatan Starter
Propagasi
kultur bertujuan untuk mendapatkan inokulum yang sehat dan aktif serta tersedia
dalam jumlah mencukupi. Inokulum yang berupa kultur kerja tidak dapat langsung
digunakan untuk fermentasi. Fermentasi dalam kapasitas besar memerlukan
inokulum yang cukup banyak. Biasanya inokulum hasil propagasi tidak mencukupi
sehingga perlu dibiakan kembali untuk mencapai jumlah yang diinginkan. Inokulum
yang siap diinokulasikan ke fermentor disebut dengan starter (biakan aktif). Starter biasanya dibuat dalam
fermentor kecil dengan kondisi medium terkendali menyerupai fermentor besar.
6. Fermentasi
Gambar 6. Proses Fermentasi
Fermentasi
adalah suatu proses untuk menghasilkan produk dengan melibatkan aktivitas
mikroba secara terkontrol, baik dalam kondisi aerob maupun anaerob. Fermentasi
dilakukan dalam fermentor yang berisi medium dengan kandungan nutrien yang
cukup dan kondisi medium yang optimal untuk pertumbuhan dan sintesis produk
yang diinginkan, baik suhu, pH, aerasi maupun homogenitas. Selanjutnya
fermentor dihubungkan dengan monitor untuk mengatur parameter-parameter yang
terkait dengan proses fermentasi. Prosedur perpindahan fermentasi dari skala
laboratorium ke skala industri disebut juga dengan scale-up atau peningkatan
proses. Scale-up perlu dilakukan karena selama fermentasi terjadi perubahan
lingkungan internal fermentor, yang dapat mempengaruhi aktivitas dan
produktivitas mikroba. Pada fermentasi skala laboratorium digunakan fermentor
gelas 1-5 liter, skala pilot plan 300 – 3000 liter dan pada tahap industri
digunakan fermentor 10.000 – 400.000 liter.
7. Pengembangan Mutan
Mikroba yang berperan dalam industri perlu ditingkatkan aktivitas
metabolismenya, sebab isolat alami hanya mampu menghasilkan produk dalam jumlah
sedikit. Pengembangan mutan dapat dilakukan dengan transformasi lisogeni,
rekombinasi dan pembuatan mutan auxotrof.
Sifat-sifat mutan yang diinginkan, yaitu waktu fermentasi lebih singkat,
tidak memproduksi senyawa yang tidak diinginkan, dapat menggunakan substrat
yang lebih murah, mampu menghasilkan produk dalam jumlah tinggi dan lain
sebagainya.
Selanjutnya mikroba dengan sifat-sifat yang menguntungkan tersebut
digunakan dalam industri, untuk menghasilkan produk yang berkualitas dalam
jumlah maksimal.
3.6. Cara Bacillus Thuringiensis Bekerja
Larutan BT dan spora disemprotkan ke
tanaman. Bacillus thuringiensis akan menghasilkan kristal protein saat
sporulasi. Kristal protein yang bersifat insektisida ini sering disebut dengan
delta-endotoksin. Kristal protein yang ada pada Bacillus thuringiensis ini sebenarnya
merupakan proteksin yang jika larut kristal protein tidak dapat larut pada
kondisi normal, sehingga aman bagi manusia, atau hewan tingkat tinggi lainnya.
Namun dapat larut pada kondisi Ph sekitar 9,5. Kondisi ini ditemukan didalam
usus serangga (dalam hal ini ulat). Hal ini lah yang menyebabkan Bt merupakan
agen insektisida yang spesifik.
Bacillus
thuringiensis bekerja secara spesifik, karena hanya akan berikatan dengan
reseptor dari sel usus serangga (ulat) berikatan dengan reseptor dinding sel usus
dan akan membuat lubang dan menyebabkan tidak seimbangnya ph. Sehingga usus
lumpuh dan serangga berhenti makan. Ph usus dan darah menjadi tidak seimbang
dan mengakibatkan spora berkecambah dan bakteri merusak inang.
1.
Serangga memakan tanaman yang telah di semprotkan Bt, sehingga kristal dan
spora masuk kedalam tubuhnya.
2.
toksin akan berikatan dengan reseptor tertentu di usus.
3.
toksin akan merusak dinding sel epitel dan merusak keseimbangan ph, sehingga
mengakibatkan spora berkecambah dan bakteri merusak sel inang (serangga)
4. serangga mati
No comments:
Post a Comment