Saturday, July 13, 2019

Pengertian dan Sejarah Bacillus Thuringiensis


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
  
2.1.Pengertian dan Sejarah  Bacillus Thuringiensis
Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen bagi serangga. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella, membentuk spora secara aerob dan selama sporulasi membentuk kristal protein paraspora yang dapat berfungsi sebagai insektisida. Kristal protein ini dikenal dengan nama N-endotoksin (Shieh, 1994 ; Knowles, 1994). Menurut Gill et al. (1992) spora yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval dan berwarna terang, rata-rata memiliki dimensi 1,0 - 1,3 µm. Jika ditumbuhkan pada medium padat, koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat dengan tepian berkerut, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna putih, elevasi timbul pada permukaan koloni kasar (Bucher, 1981).
Bacillus thuringiensis pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1901 dari penyakit pada jentik ulat sutera (Swadener, 1994). Ishiwata adalah orang yang pertama kali mengisolasikan Bacillus thuringiensis dari larva ulat sutera yang mati (Dulmage et al., 1990). Pada saat itu, belum dikenal sebagai Bacillus thuringiensis. Tahun 1911, Berliner menemukan sejenis bakteri yang sama dengan yang ditemukan oleh Ishiwata dari kumbang tepung Mediteranian (Mediterranean flour moth), Anagasta kuehniella yang mati (Swadener, 1994; Dulmage et al., 1990). Bakteri ini kemudian dinamakan dengan Bacillus thuringiensis.
Sejarah Bacillus thuringiensis ditemukan pertama kali pada tahun 1911 sebagai patogen pada ngengat (flour moth) dari Provinsi Thuringia, Jerman. Bakteri ini digunakan sebagai produk insektisida komersial pertama kali pada tahun 1938 di Perancis dan kemudian di Amerika Serikat (1950). Pada tahun 1960-an, produk tersebut telah digantikan dengan galur bakteri yang lebih patogen dan efektif melawan berbagai jenis insekta.
Keberadaan inklusi paraspora dalam B. thuringiensis telah ditemukan sejak tahun 1915, namun komposisi protein penyusunnya baru diketahui pada tahun 1915. Pada tahun 1953, Hannay, mendeteksi struktur kristal pada inklusi paraspora yang mengandung lebih dari satu macam protein kristal insektisida (insecticidal crystal protein, ICP) atau disebut juga delta endotoksin. Berdasarkan komposisi ICP penyusunnya, kristal tersebut dapat membentuk bipimiramida, kuboid, romdoid datar, atau campuran dari beberapa tipe kristal.


2.2.  Klasifikasi  Bacillus Thuringiensis
Klasifikasi menurut Tarumingkeng (2001) :
Kingdom         : Eubacteria
Division           : Bakteria
Class                : Schizomycetes
Ordo                : Eubacteriales
Family             : Bacillaceae
Genus              : Bacillus
Spesies            : Bacillus thuringiensis


Gambar 1. Bacillus thuringiensis


2.3. Ciri-ciri Bacillus Thuringiensis
2.3.1. Ciri-ciri Morfologi Bacillus Thuringiesis antara lain:
·         mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang 3 – 5 mm dan lebar 1,0 – 1,2 mm,
·         mempunyai flagella,
·         membentuk spora berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1,0 – 1,3 m,
·         spora relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia,
·         pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu 35° - 37°C,
·         spora mengandung asam dipikolinik (DPA), 10-15% dari berat kering spora,
·         sel-sel vegetatif dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari 5 - 6 sel,
·         bersifat gram positif,
·         aerob tetapi umumnya anaerob fakultatif,
·         dapat tumbuh pada media buatan,
·         suhu untuk pertumbuhan berkisar antara 15°- 40°C.


2.3.2. Ciri-ciri Fisiologi Bacillus thuringiensis :
Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin (  - endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla, Kramer dan Davidson, 1977).
Kristal protein tersusun dari subunit-subunit protein yang berbentuk batang atau halter, mempunyai berat molekul 130 – 140 kDa yang berupa protoksin. Protoksin akan menjadi toksin setelah mengalami hidrolisis dalam kondisi alkalin di dalam saluran pencernaan serangga. Hidrolisis ini melepaskan protein kecil dengan berat molekul sekitar 60 kDa dan bersifat toksik.
Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran molekul protein yang menyusun kristal, serta susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal.

      Tabel 1. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis
Tipe patogenitas
Contoh
Jenis Gen
Contoh Produk
Spesifik untuk ordo
Lepidoptera
Contoh:
Ø   Moth
Ø  Kupu-kupu
Bacillus
thuringiensis
subsp. Kurstaki
Cry I
Ø   Dipel (Abbott)
Ø   Bactospeine
(Philip Duphar)
Ø   Thuricide, Javelin
(Sandoz)
Spesifik untuk ordo
Diptera
Contoh:
Ø   Two winged flies
Ø   Midges
Ø   Crane flies
Ø   Lalat rumah
Ø  Nyamuk
Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis
Cry III
Ø   Vectobac (Abbott)
Ø   Bactimos (Philip
Duphar)
Ø  Teknar (Sandoz)
Spesifik untuk ordo
Coleoptera
Contoh:
Ø  Kumbang
Bacillus
Thuringiensis
subsp. san diego
Cry IV
Ø   Trident (Sandoz)
Ø   M-One (Mycogen)
Spesifik untuk ordo
Lepidoptera dan
Diptera
Bacillus
thuringiensis
subsp. Aizawai
Cry II
Certan (Sandoz)
Sumber: Ellar et al., 2000

2.3.3. Ciri-ciri Ekologi Bacillus thuringiensis :
Salah satu karakteristik dan B. thuringiensis adalah dapat memproduksi kristal protein dalam sel selama fase sporuIasi Kristal toksin memegang peranan penting karena aktivitasnya sebagai insektisida. Untuk menumbuhkan dan memperbanyak kristal dan spora B. thuringiensis telah digunakan berbagai media kimia seperti agar nutrien, media NYSMA, NYPC dan Tryptose Phosphate Broth. Beberapa peneliti tidak menggunakan media kimiawi untuk menumbuhkan B. thuringiensis, melainkan menggunakan media alami seperti berbagai media kelapa (air dan endospermnya). Media kelapa relatif murah, dapat diperoleh setiap saat dan terdapat di mana-mana, sedangkan media kimia harganya mahal dan tidak mudah diperoleh. Air kelapa dan endosperm kelapa (santan) kaya akan asam amino, gula dan garam serta merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan B.Thuringiensis.
                       
2.4.   Peranan Bacillus Thuringiensis Sebagai Agen Pembasmi Serangga
       Salah satu hama yang banyak menyerang tanaman pertanian adalah dari jenis serangga seperti ulat, larva kumbang, dan lalat buah. Serangga tersebut dapat memakan daun, menggerogoti batang dan akar, maupun membusukkan buah. Petani biasanya menggunakan pertisida untuk mengendalikan serangga tersebut. Penyemprotan pestisida dapat mematikan serangga karena efek zat kimia beracun yang dikandungnya. Zat kimia dalam pertisida memang terbukti efektif dalam membasmi serangga, namun hal ini menimbulkan masalah baru karena zat kimia dalam pestisida juga beracun bagi manusia dan hewan lain apabila terakumulasi di dalam tubuh.
       Penggunaan bahan pembasmi serangga yang efektif dan tidak membahayakan organisme lain terus berkembang dalam dunia pertanian. Salah satu penemuan yang cukup efektif untuk membasmi serangga pengganggu namun aman bagi organisme yang lain terutama manusia adalah penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis dalam pertanian. Penggunaan bakteri ini telah dikenal di Amerika Serikat sejak awal tahun 1960-an. Namun di Indonesia bakteri ini belum umum digunakan karena belum dikenal luas di kalangan petani, terutama petani tradisional.
       Bacillus thuringiensis atau biasa disingkat dengan BT merupakan bakteri yang mampu menghasilkan zat kimia yang beracun bagi serangga. Secara alami, bakteri ini terdapat di dalam tanah, pada serangga, maupun pada permukaan tanaman. BT yang dimakan serangga akan mengeluarkan racun yang mematikan dalam sistem pencernaan serangga. Oleh karena itu BT biasanya disemprotkan pada permukaan tanaman yang menjadi makanan serangga pengganggu. Serangga yang memakan daun, bunga, atau buah yang telah disemprot akan mati setelah beberapa waktu karena keracunan dan infeksi. Serangga muda/immature lebih rentan terhadap serangan racun BT dibandingkan dengan serangga dewasa.
       Beberapa subspesies BT dikenal menghasilkan racun yang spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Telah dikenal BT yang menghasilkan racun spesifik terhadap kupu-kupu, ngengat, nyamuk, lalat, dan kumbang. Hewan-hewan lain seperti ikan, kadal, mupun burung tidak akan terpengaruh dengan racun BT. Manusia yang memakan tanaman yang telah disemprot BT juga tidak akan mengalami gangguan atau keracunan karena racunnya hanya berdampak pada serangga.
       BT yang digunakan sebagai pembasmi serangga biasanya merupakan hasil pembiakan secara invitro di laboratorium. Dengan medium tertentu akan dihasilkan BT dalam jumlah banyak yang dapat digunakan untuk menyemprot tanaman setelah diencerkan. Penggunaan BT dapat digunakan sebagai alternatif membasmi serangga yang tidak membahayakan organisme lain, sebagai pengganti penggunaan pestisida yang berbahaya.

2.5. Karakteristik Bakteri Bacillus Thuringiensis
       Karakterisasi bakteri berdasarkan morfologi, sifat biakan dan sifat biokimia sangat diperlukan karena mikroba tidak memiliki ciri anatomi yang nyata. Karakterisasi yang hanya berdasarkan bentuk penataan dan ukurannya saja tidak cukup untuk mengetahui ciri/jenis suatu mikroba.  Ciri lain yang dapat membantu dalam karakterisasi mikroba adalah pola pertumbuhan, reaksi pertumbuhan pada karbohidrat dan penggunaan asam amino ( Lay, 1994).
       Uji sifat morfologi bakteri sangat penting dilakukan terhadap bakteri maupun kapang pada medium padat, berdasarkan sifat-sifat koloni seperti bentuk, ukuran, warna, sensitifitas dan spesifitas (Prabaningtyas, 2003).
       Katalase dan motilitas juga merupakan salah satu sifat biakan yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi biakan tersebut.  Uji katalase berguna dalam mengidentifikasi kelompok bakteri yang dapat menghasilkan enzim katalase.  Dilakukan dengan cara : di atas kaca objek ditetesi satu tetes H2O2 3%, ditambahkan koloni bakteri dan langsung diamati terjadinya penguraian hidrogen peroksida.  Dinyatakan positif bila menghasilkan enzim katalase yang ditandai dengan terbentuknya gelembung udara dan negatif bila tidak ada gelembung udara.  Terbentuknya gelembung disebabkan karena bakteri yang ditambahkan hidrogen peroksida tersebut menghasilkan peroksida.  Uji motilitas berperan dalam mengetahui pergerakan bakteri.  Bakteri yang dinyatakan positif motil atau bergerak akan ditunjukan dengan adanya kekeruhan pada media uji yang menunjukan pertumbuhan koloni (Aksoy dan Ozman-Sullivan, 2008).
       Reaksi positif uji katalase ditunjukkan dengan membentuk gelembung- gelembung yang berarti ada pembentukkan gas Oksigen (O2) sebagai hasil pemecahan H2O2 oleh enzim katalase yang diproduksi oleh bakteri tersebut. Bakteri yang termasuk bakteri katalase negatif tidak membentuk gelembung udara yang berarti tidak terbentuk gas (Suryani, 2010).
       Salah satu karakteristik dan Bacillus thuringiensis adalah dapat memproduksi kristal protein dalam sel selama fase sporulasi Kristal toksin memegang peranan penting karena aktivitasnya sebagai insektisida.  Untuk menumbuhkan dan memperbanyak kristal dan spora Bacillus thuringiensis telah digunakan berbagai media kimia seperti agar nutrien, media NYSMA, NYPC dan Tryptose Phosphate Broth.  Beberapa peneliti tidak menggunakan media kimiawi untuk menumbuhkan Bacillus thuringiensis, melainkan menggunakan media alami seperti berbagai media kelapa (air dan endospermnya).  Media kelapa relatif murah, dapat diperoleh setiap saat dan terdapat di mana-mana, sedangkan media kimia harganya mahal dan tidak mudah diperoleh.  Air kelapa dan endosperm kelapa (santan) kaya akan asam amino, gula dan garam serta merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan Bacillus Thuringiensis (Sriganti, 2000).

2.6. Pengaruh Suhu 
       Tinggi rendahnya suhu lingkungan sangat penting bagi organisme karena tidak semua tingkatan suhu cocok bagi pertumbuhan dan reproduksi organisme.  Secara umum terdapat 4 kelompok mikroorganisme berdasarkan suhu lingkungan tempat hidupnya yaitu psikrofil, mesofil, termofil, dan hipertermofil seperti pada gambar 2.

 
Gambar 2. Hubungan Suhu dan Pertumbuhan pada Kelompok Mikroorganisme dengan Temperatur yang Berbeda.
       Setiap jenis bakteri memiliki suhu minimum dan suhu maksimum yang berbeda-beda untuk pertumbuhan.  Pada suhu minimum dan suhu lebih tinggi dari maksimum akan memperlambat pertumbuhan bakteri. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suhu terhadap enzim, makin tinggi suhu maka aktifitas enzim juga makin cepat.  Suhu yang terlalu tinggi akan mendenaturasi enzim sehingga sel bakteri akan mengalami fase kematian.
       Menurut Hidayat (2006), mikroba dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan suhu pertumbuhannya:
1. Mikroba psikrofil, dapat tumbuh pada suhu antara 0oC sampai 30oC, dengan suhu optimum 15oC. Kebanyakan tumbuh di tempat-tempat dingin, baik di daratan ataupun di lautan.
2. Mikroba mesofil, mempunyai suhu optimum antara 25o- 37oC, dengan suhu minimum 15oC dan suhu maksimum antara 45o-55oC. Jasad ini banyak tumbuh dalam saluran pencernaan, tanah dan perairan.
3. Mikroba termofil, dengan suhu pertumbuhan antara 40o-75oC dengan suhu optimum 55o-60oC.  Pertumbuhan antara 40o-75oC dengan suhu optimum 55o-60oC. Pada jasad termofil dikenal pula stenotermofil (termofil obligat), yaitu mikroba yang dapat tumbuh baik pada suhu 60oC dan tidak dapat tumbuh pada suhu 30oC dan euritermofil (termofil fakultatif) yaitu yang mampu tumbuh di bawah 30oC.

2.7. Pengaruh pH
       Pengaturan nilai pH medium merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk (Ketaren, 1990). Besarnya pH untuk kecepatan pertumbuhan maksimum seringkali berkisar antara satu sampai satu setengah unit.  Sewaktu pertumbuhan mikroorganisme, seringkali terjadi perubahan pH media, sebaliknya ketika metabolisme protein dan asam amino dilepas, ion ammonium menyebabkan pH menjadi basa.  Bila terjadi penyimpangan pH, pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme tanah dapat terhenti (Lay, 1994).
       Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada medium yang memiliki pH pada kisaran 5.5 - 8.5 dan tumbuh optimum pada pH 6.5 - 7.5 (Benhard dan Utz, 1993).  Bakteri ini dapat ditemukan di beberapa habitat seperti tanah, pepohonan, pakan ternak, dan serangga mati.  Spora berbentuk oval dan berwarna hijau kebiruan, berukuran 1,0 – 1,3 µ m dengan posisi terminal, sedangkan kristal protein berukuran 0,6 – 2,0 µ m (Zeigler, 1999).

No comments:

Post a Comment

Irigasi dan Drainase | pola distribusi air di bumi

           POLA DISTRIBUSI AIR DI BUMI 1. Gambaran secara singkat latar belakang dan konsep irigasi          Irigasi merupakan salah satu fa...