BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Pengertian dan
Sejarah Bacillus Thuringiensis
Bacillus
thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen
bagi serangga. Bakteri
ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella, membentuk spora
secara aerob dan selama sporulasi membentuk kristal protein paraspora yang
dapat berfungsi sebagai insektisida. Kristal protein ini dikenal dengan nama
N-endotoksin (Shieh, 1994 ; Knowles, 1994). Menurut Gill et al. (1992) spora
yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval dan berwarna terang,
rata-rata memiliki dimensi 1,0 - 1,3 µm. Jika ditumbuhkan pada medium padat,
koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat dengan tepian berkerut, memiliki
diameter 5-10 mm, berwarna putih, elevasi timbul pada permukaan koloni kasar
(Bucher, 1981).
Bacillus
thuringiensis pertama kali ditemukan di Jepang pada
tahun 1901 dari penyakit pada jentik ulat sutera (Swadener, 1994). Ishiwata
adalah orang yang pertama kali mengisolasikan Bacillus thuringiensis dari larva
ulat sutera yang mati (Dulmage et al., 1990). Pada saat itu, belum dikenal
sebagai Bacillus thuringiensis. Tahun 1911, Berliner menemukan sejenis bakteri yang
sama dengan yang ditemukan oleh Ishiwata dari kumbang tepung Mediteranian
(Mediterranean flour moth), Anagasta kuehniella yang mati (Swadener, 1994;
Dulmage et al., 1990). Bakteri ini kemudian dinamakan dengan Bacillus thuringiensis.
Sejarah Bacillus thuringiensis ditemukan pertama kali pada tahun 1911
sebagai patogen pada ngengat (flour moth) dari Provinsi Thuringia, Jerman.
Bakteri ini digunakan sebagai produk insektisida komersial pertama kali pada
tahun 1938 di Perancis dan kemudian di Amerika Serikat (1950). Pada tahun
1960-an, produk tersebut telah digantikan dengan galur bakteri yang lebih
patogen dan efektif melawan berbagai jenis insekta.
Keberadaan inklusi paraspora dalam B. thuringiensis telah ditemukan sejak
tahun 1915, namun komposisi protein penyusunnya baru diketahui pada tahun 1915.
Pada tahun 1953, Hannay, mendeteksi struktur kristal pada inklusi paraspora
yang mengandung lebih dari satu macam protein kristal insektisida (insecticidal
crystal protein, ICP) atau disebut juga delta endotoksin. Berdasarkan komposisi
ICP penyusunnya, kristal tersebut dapat membentuk bipimiramida, kuboid, romdoid
datar, atau campuran dari beberapa tipe kristal.
2.2. Klasifikasi
Bacillus Thuringiensis
Klasifikasi menurut Tarumingkeng (2001) :
Kingdom
: Eubacteria
Division : Bakteria
Class : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Family : Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: Bacillus thuringiensis
Gambar 1. Bacillus
thuringiensis
2.3. Ciri-ciri Bacillus Thuringiensis
2.3.1. Ciri-ciri Morfologi
Bacillus Thuringiesis antara lain:
·
mempunyai
sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang 3 – 5 mm dan lebar 1,0 –
1,2 mm,
·
mempunyai
flagella,
·
membentuk
spora berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan dan
berukuran 1,0 – 1,3 m,
·
spora
relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia,
·
pembentukan
spora terjadi dengan cepat pada suhu 35° - 37°C,
·
spora
mengandung asam dipikolinik (DPA), 10-15% dari berat kering spora,
·
sel-sel
vegetatif dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari 5 - 6 sel,
·
bersifat
gram positif,
·
aerob
tetapi umumnya anaerob fakultatif,
·
dapat
tumbuh pada media buatan,
·
suhu
untuk pertumbuhan berkisar antara 15°- 40°C.
2.3.2. Ciri-ciri Fisiologi
Bacillus thuringiensis :
Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya
membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu
pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein
yang mengandung toksin ( - endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam
setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel
mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen
kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam
glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari
karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla, Kramer dan Davidson, 1977).
Kristal protein tersusun dari
subunit-subunit protein yang berbentuk batang atau halter, mempunyai berat
molekul 130 – 140 kDa yang berupa protoksin. Protoksin akan menjadi toksin
setelah mengalami hidrolisis dalam kondisi alkalin di dalam saluran pencernaan
serangga. Hidrolisis ini melepaskan protein kecil dengan berat molekul sekitar
60 kDa dan bersifat toksik.
Toksisitas B. thuringiensis
terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies serangga yang
terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur
kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih
mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran molekul protein
yang menyusun kristal, serta susunan molekul asam amino dan kandungan
karbohidrat dalam kristal.
Tabel 1. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis
Tipe patogenitas
|
Contoh
|
Jenis Gen
|
Contoh Produk
|
Spesifik
untuk ordo
Lepidoptera
Contoh:
Ø Moth
Ø Kupu-kupu
|
Bacillus
thuringiensis
subsp. Kurstaki
|
Cry I
|
Ø
Dipel (Abbott)
Ø
Bactospeine
(Philip Duphar)
Ø Thuricide, Javelin
(Sandoz)
|
Spesifik
untuk ordo
Diptera
Contoh:
Ø
Two winged flies
Ø
Midges
Ø
Crane flies
Ø
Lalat rumah
Ø Nyamuk
|
Bacillus
thuringiensis
subsp. Israelensis
|
Cry III
|
Ø
Vectobac (Abbott)
Ø
Bactimos (Philip
Duphar)
Ø Teknar (Sandoz)
|
Spesifik
untuk ordo
Coleoptera
Contoh:
Ø Kumbang
|
Bacillus
Thuringiensis
subsp. san diego
|
Cry IV
|
Ø
Trident (Sandoz)
Ø
M-One (Mycogen)
|
Spesifik
untuk ordo
Lepidoptera dan
Diptera
|
Bacillus
thuringiensis
subsp. Aizawai
|
Cry II
|
Certan
(Sandoz)
|
Sumber: Ellar et al., 2000
2.3.3. Ciri-ciri Ekologi
Bacillus thuringiensis :
Salah satu karakteristik dan B.
thuringiensis adalah dapat memproduksi kristal protein dalam sel selama fase
sporuIasi Kristal toksin memegang peranan penting karena aktivitasnya sebagai
insektisida. Untuk menumbuhkan dan memperbanyak kristal dan spora B.
thuringiensis telah digunakan berbagai media kimia seperti agar nutrien, media
NYSMA, NYPC dan Tryptose Phosphate Broth. Beberapa peneliti tidak menggunakan
media kimiawi untuk menumbuhkan B. thuringiensis, melainkan menggunakan media
alami seperti berbagai media kelapa (air dan endospermnya). Media kelapa
relatif murah, dapat diperoleh setiap saat dan terdapat di mana-mana, sedangkan
media kimia harganya mahal dan tidak mudah diperoleh. Air kelapa dan endosperm
kelapa (santan) kaya akan asam amino, gula dan garam serta merupakan media yang
cocok untuk pertumbuhan B.Thuringiensis.
2.4. Peranan Bacillus Thuringiensis Sebagai Agen Pembasmi Serangga
Salah satu hama yang banyak
menyerang tanaman pertanian adalah dari jenis serangga seperti ulat, larva
kumbang, dan lalat buah. Serangga tersebut dapat memakan daun, menggerogoti
batang dan akar, maupun membusukkan buah. Petani biasanya menggunakan pertisida
untuk mengendalikan serangga tersebut. Penyemprotan pestisida dapat mematikan
serangga karena efek zat kimia beracun yang dikandungnya. Zat kimia dalam
pertisida memang terbukti efektif dalam membasmi serangga, namun hal ini menimbulkan
masalah baru karena zat kimia dalam pestisida juga beracun bagi manusia dan
hewan lain apabila terakumulasi di dalam tubuh.
Penggunaan bahan pembasmi serangga yang
efektif dan tidak membahayakan organisme lain terus berkembang dalam dunia pertanian.
Salah satu penemuan yang cukup efektif untuk membasmi serangga pengganggu namun
aman bagi organisme yang lain terutama manusia adalah penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis dalam pertanian.
Penggunaan bakteri ini telah dikenal di Amerika Serikat sejak awal tahun
1960-an. Namun di Indonesia bakteri ini belum umum digunakan karena belum
dikenal luas di kalangan petani, terutama petani tradisional.
Bacillus thuringiensis
atau biasa disingkat dengan BT merupakan bakteri yang mampu menghasilkan zat
kimia yang beracun bagi serangga. Secara alami, bakteri ini terdapat di dalam
tanah, pada serangga, maupun pada permukaan tanaman. BT yang dimakan serangga
akan mengeluarkan racun yang mematikan dalam sistem pencernaan serangga. Oleh
karena itu BT biasanya disemprotkan pada permukaan tanaman yang menjadi makanan
serangga pengganggu. Serangga yang memakan daun, bunga, atau buah yang telah
disemprot akan mati setelah beberapa waktu karena keracunan dan infeksi.
Serangga muda/immature lebih rentan terhadap serangan racun BT dibandingkan
dengan serangga dewasa.
Beberapa subspesies BT dikenal
menghasilkan racun yang spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Telah
dikenal BT yang menghasilkan racun spesifik terhadap kupu-kupu, ngengat,
nyamuk, lalat, dan kumbang. Hewan-hewan lain seperti ikan, kadal, mupun burung
tidak akan terpengaruh dengan racun BT. Manusia yang memakan tanaman yang telah
disemprot BT juga tidak akan mengalami gangguan atau keracunan karena racunnya
hanya berdampak pada serangga.
BT yang digunakan sebagai pembasmi
serangga biasanya merupakan hasil pembiakan secara invitro di laboratorium.
Dengan medium tertentu akan dihasilkan BT dalam jumlah banyak yang dapat
digunakan untuk menyemprot tanaman setelah diencerkan. Penggunaan BT dapat
digunakan sebagai alternatif membasmi serangga yang tidak membahayakan
organisme lain, sebagai pengganti penggunaan pestisida yang berbahaya.
2.5.
Karakteristik Bakteri Bacillus Thuringiensis
Karakterisasi bakteri berdasarkan morfologi, sifat biakan dan sifat
biokimia sangat diperlukan karena mikroba tidak
memiliki ciri anatomi yang nyata. Karakterisasi yang hanya berdasarkan bentuk
penataan
dan ukurannya saja tidak
cukup untuk mengetahui ciri/jenis
suatu mikroba. Ciri lain yang dapat membantu dalam karakterisasi
mikroba adalah pola pertumbuhan, reaksi pertumbuhan pada karbohidrat dan
penggunaan asam
amino ( Lay,
1994).
Uji sifat morfologi
bakteri
sangat penting dilakukan terhadap bakteri
maupun kapang pada medium padat, berdasarkan
sifat-sifat
koloni seperti bentuk, ukuran, warna,
sensitifitas dan spesifitas (Prabaningtyas, 2003).
Katalase dan motilitas juga merupakan
salah
satu sifat biakan yang dapat
digunakan untuk mengkarakterisasi biakan
tersebut. Uji katalase berguna
dalam
mengidentifikasi
kelompok
bakteri yang dapat menghasilkan
enzim
katalase.
Dilakukan dengan cara :
di atas kaca objek ditetesi satu
tetes
H2O2 3%, ditambahkan
koloni bakteri dan langsung
diamati terjadinya penguraian hidrogen peroksida. Dinyatakan
positif bila menghasilkan enzim
katalase yang ditandai
dengan
terbentuknya gelembung udara dan
negatif bila tidak ada gelembung udara.
Terbentuknya gelembung disebabkan
karena bakteri yang ditambahkan hidrogen
peroksida tersebut menghasilkan peroksida.
Uji motilitas
berperan dalam mengetahui pergerakan
bakteri. Bakteri yang dinyatakan positif motil atau
bergerak akan
ditunjukan dengan adanya
kekeruhan pada media uji yang menunjukan
pertumbuhan koloni (Aksoy dan
Ozman-Sullivan,
2008).
Reaksi
positif uji katalase ditunjukkan dengan membentuk gelembung-
gelembung yang berarti
ada
pembentukkan gas
Oksigen (O2) sebagai hasil pemecahan H2O2 oleh
enzim
katalase yang diproduksi oleh
bakteri tersebut. Bakteri yang termasuk
bakteri
katalase negatif tidak membentuk gelembung udara yang berarti tidak
terbentuk gas
(Suryani,
2010).
Salah
satu karakteristik dan Bacillus thuringiensis adalah dapat
memproduksi kristal protein
dalam
sel selama fase sporulasi
Kristal toksin memegang peranan
penting karena aktivitasnya sebagai
insektisida. Untuk menumbuhkan dan memperbanyak
kristal dan
spora Bacillus thuringiensis telah digunakan
berbagai media kimia seperti agar nutrien, media NYSMA,
NYPC dan Tryptose
Phosphate Broth. Beberapa peneliti tidak
menggunakan
media kimiawi untuk menumbuhkan Bacillus thuringiensis,
melainkan menggunakan
media alami seperti berbagai
media kelapa (air dan
endospermnya). Media kelapa relatif murah,
dapat diperoleh
setiap saat dan
terdapat di mana-mana, sedangkan media kimia harganya mahal dan
tidak mudah diperoleh. Air
kelapa dan
endosperm kelapa (santan) kaya akan asam
amino, gula dan garam serta merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan Bacillus Thuringiensis (Sriganti,
2000).
2.6.
Pengaruh Suhu
Tinggi rendahnya suhu
lingkungan sangat
penting bagi organisme
karena tidak semua tingkatan suhu
cocok
bagi
pertumbuhan dan
reproduksi organisme. Secara umum terdapat
4 kelompok mikroorganisme berdasarkan suhu lingkungan
tempat hidupnya yaitu psikrofil, mesofil,
termofil, dan hipertermofil
seperti pada gambar 2.
Gambar
2. Hubungan Suhu dan Pertumbuhan pada Kelompok Mikroorganisme dengan Temperatur
yang Berbeda.
Setiap
jenis bakteri memiliki suhu minimum dan suhu maksimum yang berbeda-beda untuk
pertumbuhan. Pada suhu minimum dan suhu
lebih tinggi dari maksimum akan memperlambat pertumbuhan bakteri. Hal ini dapat
dilihat dari pengaruh suhu terhadap enzim, makin tinggi suhu maka aktifitas
enzim juga makin cepat. Suhu yang
terlalu tinggi akan mendenaturasi enzim sehingga sel bakteri akan mengalami
fase kematian.
Menurut Hidayat
(2006), mikroba dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
suhu pertumbuhannya:
1. Mikroba psikrofil, dapat tumbuh
pada suhu antara 0oC sampai 30oC, dengan suhu optimum 15oC. Kebanyakan tumbuh di tempat-tempat dingin,
baik di daratan ataupun
di lautan.
2. Mikroba mesofil, mempunyai suhu optimum antara 25o- 37oC,
dengan suhu minimum 15oC dan suhu maksimum
antara 45o-55oC. Jasad
ini banyak tumbuh dalam saluran pencernaan, tanah dan perairan.
3. Mikroba termofil, dengan suhu pertumbuhan antara 40o-75oC dengan suhu optimum 55o-60oC.
Pertumbuhan antara 40o-75oC dengan suhu optimum 55o-60oC. Pada jasad
termofil dikenal pula stenotermofil
(termofil obligat), yaitu mikroba yang dapat tumbuh
baik pada suhu 60oC dan
tidak dapat tumbuh pada suhu 30oC dan euritermofil (termofil fakultatif) yaitu yang mampu tumbuh di bawah 30oC.
2.7.
Pengaruh pH
Pengaturan nilai
pH medium merupakan
salah
satu
faktor penting yang mempengaruhi
pertumbuhan dan
pembentukan produk
(Ketaren, 1990). Besarnya pH untuk kecepatan pertumbuhan maksimum seringkali
berkisar antara satu sampai satu
setengah
unit. Sewaktu
pertumbuhan
mikroorganisme, seringkali
terjadi perubahan pH media,
sebaliknya ketika
metabolisme
protein dan asam amino
dilepas, ion ammonium menyebabkan pH menjadi basa. Bila terjadi
penyimpangan
pH, pertumbuhan dan
metabolisme mikroorganisme tanah
dapat
terhenti (Lay,
1994).
Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada medium yang memiliki
pH pada kisaran 5.5 - 8.5 dan
tumbuh optimum pada pH 6.5 - 7.5 (Benhard dan Utz, 1993). Bakteri ini dapat ditemukan
di beberapa habitat
seperti
tanah,
pepohonan, pakan
ternak, dan serangga mati.
Spora berbentuk oval
dan berwarna hijau kebiruan, berukuran
1,0 – 1,3 µ m dengan posisi terminal, sedangkan kristal protein
berukuran 0,6 – 2,0 µ m (Zeigler, 1999).
No comments:
Post a Comment